Rabu, 07 Desember 2011

MATEMATIKA


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ACHMAD YANI BANJARMASIN
MATA KULIAH : MATEMATIKA 1
NAMA : ……………
NPM : 10862060…

1.        Ciri-ciri anak yang memahami kekekalan panjang:

Anak telah memahami hukum kekealan panjang apabila ia mengerti bahwa dua utas tali tetap sama panjang walaupun diubah bentuknya. Umumnya hukum kekekalan panjang dicapai pada usia 8-9 tahun.
Ciri-ciri anak yang memahami kekekalan bilangan:
Anak telah memahami kekekalan bilangan apabila ia mengerti bahwa banyaknya benda akan tetap walaupun letaknya berbeda-beda. Anak yang memehami hukum kekekalan bilangan maka ia belum waktunya mendapatkan konsep penjumlahan atau operasi hitung lainnya. Konsep kekekalan bilangan umumnya dicapai oleh siswa usia sekitar 6 sampai 7 tahun.
2.             Contoh pembelajaran matematika untuk menjelaskan operasi hitung penjumlahan pada siswa SD kelas 1 semester 1 sesuai dengan teori Brunner adalah sebagai berikut:
Dengan cara belajar menggunakan konsep dengan benda-benda yang nyata dan anak langsung mencoba. Selain itu, bisa juga dengan menggunakan simbol-simbol. Contohnya, seperti;



















 


                                        +              = 





            2            +         1         =     3







3.             Induksi matematika
a.       1(2) + 2(3) + … + n(n+1) = n(n+1)(n+2)
Ø  Anggap benar untuk n=1
1(2) + 2(3) + … + n(n+1) =
                         1(1+1) =
                                  2 =
                                 2 = 2
Terbukti!!!
Ø  Anggap benar untuk n=k
1(2) + 2(3) + … + n(n+1) = n(n+1)(n+2)
1(2) + 2(3) + … + k(k+1) =

Ø  Akan di tunjukan benar untuk n=k+1
1(2) + 2(3) + … + k(k+1) =



1(2) + 2(3) + … + k(k+1) +(k+1)((k+1)+1) =


 

=>   +(k+1)((k+1)+1)
=> 
=>
=>
=>
=>
=>
=>
Terbukti benar…!!!



b.      1 + 22 + 32 + … + n2 =
Anggap benar untuk n=1
 … +1 2 =
...+ 1 =
      1 = 1
Benara untuk n=1…!!!

Anggap benar untuk n=k
1 + 22 + 32 + … +k 2 =

Akan di tunjukan benar untuk  n = k+1
1 + 22 + 32 + … +k 2 + ( k+1)2=
 


ð    
ð 
ð 
ð 
ð 
ð 
Terbukti Benar…!!!
4.      Menentukan Ingkaran dari
a.      
Ingkaran :
b.     
Ingkaran :
c.       Semua bilangan prima adalah genap
Ingkaran : Ada bilangan prima adalah tidak genap.
d.      Ada bilangan prima yang lebih besar dari dua
Ingkaran : Semua bilangan prima yang tidak lebih besar dari dua.










5.      Gunakan table kebenaran untuk menunjukan apakah  merupakan tautologi, kontradiksi, atau bukan keduanya!

p
B
B
S
S
S
S
B
B
S
S
S
S

Karena semua baris   bernilai S maka   merupakan kontradiksi. Sebab, kontradiksi adalahsuatubentuk kalimat yang selalu bernilai salah, tidak peduli bagaimanapun nilai kebenaran masing-masing kalimatnya penyusunnya.

Senin, 06 Juni 2011

PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Untuk mengatasi berbagai konflik horizontal, pendidikan bisa berperan membentuk pandangan siswa mengenai kehidupan dan meningkatkan penghargaan terhadap keberagaman. Pendidikan multikultural di Indonesia menghadapi tiga tantangan mendasar.

Pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka.

Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum. Penelitian saya atas kurikulum 1994 menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosio-ekonomi, kultur lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik (Lie, 2001 dan 2003).

Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya seperti pakaian, kesenian daerah, dan stereotip suku.

Tantangan terakhir dan terpenting adalah guru. Kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola pembelajaran multikulturalisme.

Kurikulum multikultural

Tilaar (2005) mengupas model pendidikan multikultural di beberapa negara. Tidak ada satu model pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau komunitas. Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI.

Pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.

Model pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi serta the hidden curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan, dan keterampilan justru terjadi di kalangan peserta didik). Dalam kurikulum resmi, pendidikan multikultural sebaiknya diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik.

Model kurikulum multikultural mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural ini bisa didesain sesuai tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai multikultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.



Mengenal diri sendiri

Pengetahuan multikultural dimulai dari pengenalan, penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi yang membentuk seperti keluarga, lingkungan terdekat).

Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. Misalnya, pengetahuan tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia.

Keterampilan untuk hidup di masyarakat yang multikultural termasuk terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning, dan problem solving. Keterampilan ini bisa dimasukkan proses pembelajaran anak baik melalui kegiatan akademik maupun non-akademik.

Untuk melaksanakan pendidikan multikultural, sejumlah pekerjaan rumah harus digarap mulai dari rancangan integrasi kurikulum, standardisasi buku dan materi, pengembangan materi dan kurikulum, pengembangan profesional dan pelatihan guru, rancangan kegiatan, hingga rancangan monitoring dan evaluasi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimanakah pembelajaran Multikultural tersebut?
1.2.2 Apa saja tujuan Pembelajaran Multikultural?
1.2.3 Bagaimana konsep Pembelajaran Multikultural?
1.2.4 Bagaimana strategi dalam pengelolaan Pembelajaran Multikultural?
1.3 TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah tentang Pembelajaran Multikultural ini adalah untuk mendalami mata kuliah Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan dalam sub bahasan Pembelajaran Multikultural, dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan.




BAB II
PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL

2.1 PENGERTIAN
Paradigma pendidikan yang berwawasan mutikultural sebenarnya berangkat dari suatu kesadaran, bahwa setiap manusia mempunyai potensi yang berbeda-beda(heterogen). Dengan menyadari bahwa setiap manusia memiliki perbedaan potensi(kemampuan), maka proses pendidikan wajib dilaksanakan dengan prinsip kearifan. Jangan sampai setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik diabaikan begitu saja. Sebab yang demikian justru akan menimbulkan model penindasan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan berwawasan multikulturalisme kemudian sebenarnya lebih mudah dipahami sebagai pandangan pluralisme dalam pendidikan yang membutuhkan kearifan dalam menyikapi pluralisme itu. Wacana pendidikan multikultural menjadi tema sentral. Dunia pendidikan menjadi marak dengan wacana multikultural wacana kependidikan kontemporer mulai melirik. Paradigma multikultural sebagai landasan filosofis untuk membangun konsep pendidikan yang berwawasan pada perbedaan kultur yang ada. Bahkan, beberapa kalangan akademis yang perhatian terhadap masa depan pendidikan telah menerbitkan buku-buku yang secara khusus berkiblat pada paradigma multikultural itu.

2.2 TUJUAN PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL
Tujuan utama pendidikan berwawasan multikultural adalah:
1. Untuk menerapkan keadilan
2. Untuk menerapkan demokrasi
3. Untuk menerapkan humanisasi
Oleh karena itu di alam demokrasi seperti di Indonesia, wacana berbasis kesadaran multikultural wajib menjadi agenda pada masa yang akan datang.
Tujuan utama pendidikan multikultural, sebagaimana telah di sebutkan di atas, adalah untuk demokratisasi, humanisasi, dan keadilan yaitu dengan prinsip mengakomodir ragam perbedaan kultur yang dibawa oleh masing-masing peserta didik disekolah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi perbedaan-perbedaan kultur yaitu;
1. Peribedaan prilaku keagamaan yang dimiliki siswa
Perilaku keagamaan yang dimiliki setiap siswa tentu berbeda. Perbedaan ini dalam konteks bukan pada ajaran agama itu sendiri, karena agama jelas bukan suatu kultur, tapi perilaku yang didasarkan pada mata pelajaran agama kemudian disebut kultur. Dan dalam hal ini sangat mungkin terjadi ketika disebuah kelas terdapat banyak keyakinan agama yang dianut oleh para peserta didik. Perilaku keagamaan antara yang satu dengan yang lain jelas berbeda sehingga membutuhkan sikap kearifan untuk menyikapinya sebagai seorang pendidik.
2. Perbedaan etnis dan corak bahasa
Zaman sekarang merupakan era globalisasi sehingga sangat mudah terjadi pertemuan antara berbagai macam budaya (akulturasi). Seperti dalam sebuah kelas, sangat mungkin latar belakang para peserta didiknya berasal dari berbagai daerah. Hal itu mewujudkan adanya ragam bahasa yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Maka, peran guru jelas sangat perlu untuk menyikapi perbedaan etnis dan bahasa yang dimiliki para peserta didik.
3. Perbedaan jenis kelamin dan gender (konstruksi sosial)
4. Perbedaan status sosial
Setiap peserta didik sudah barang tentu berlatar belakang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada peserta didik yang berasal dari kalangan mampu. Namun, ada juga yang berasal dari keluarga miskin. Disini pendidikan harus mampu mengakomodir kedua jenis latar belakang itu.
5. Perbedaan kemampuan
Proses pendidikan yang diselenggarakan secara general mengaburkan aspek perbedaan segi kemampuan, baik secara fisik maupun nonfisik.

2.3 KONSEP DASAR PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL
Dalam pembelajaran tidak terlepas dari keragaman budaya yang dimiliki oleh peserta didik sebagai bagian dari anggota masyarakat, yaitu keragaman dalam hal bahasa, etnis, cara hidup, nilai-nilai, dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam pembelajaran tidak terlepas dari unsur kebudayaan, karena;
1. kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks;
2. kebudayaan merupakan prestasi manusia yang material;
3. kebudayaan dapat berbentuk fisik;
4. kebudayaan dapat berbentuk perilaku;
5. kebudayaan merupakan realitas yang objektif;
6. kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang terasing.
Berdasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang beragam kompleks dan terintegrasi, dalma proses pembelajaran harus menggunakan multi disipliner, seperti: filsafat, sosiologi, antropologi, biologi, psikologi, komunikasi.
Keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat harus dijadikan dasar pengayaan dalam pembeljaran sehingga guru harus menciptakan “belajar untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni” sesuai dengan salah satu pilar belajar dan UNESCO yaitu learning to live together.
Peran guru dalam menerapkan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan adalah:
1. pendidik harus menjadi model;
2. harus menciptakan masyarakat bermoral;
3. mempraktekkan disiplin moral;
4. menciptakan situasi demokrasi;
5. mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum;
6. menciptakan budaya kerja sama;
7. menumbuhkan kesadaran karya;
8. mengembangkan refleksi moral;
9. mengajarkan revolusi konflik.

2.4 STRATEGI PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL
Seorang guru dituntut harus mampu menggunakan strategi pembelajaran yang tepat dalam menciptakan harmoni dan kedamaian di antara peserta didik yang dilandasi oleh keanekaragaman budaya yang dimiliki peserta didik.
Dalam kegiatan multikultural tidak lepas dari hakikat pendidikan yaitu suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudayan dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global.
Komponen-komponen yang berhubungan dengan hakikat pendidikan adalah;
1. pendidik merupakan proses berkesinambungan;
2. proses pendidikan menumbuhkembangkan eksistensi manusia;
3. proses pendidikan muwujudkan eksistensi manusia;
4. proses pendidikan berlangsung dalam masyarakat membudaya;
5. proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi waktu dan ruang.
Pembelajaran multikultural dapat difokuskan pada pembelajaran perdamaian, pembelajaran hak asasi manusia, dan pembelajaran untuk demokrasi.
Strategi pembelajaran perdamaian dapat menggunakan strategi introspektif, interaksi sosial, pengenalan lingkungan alam dan rekreasi. Strategi pembelajaran hak-hak asasi manusia dapat dilakukan dengan cara; belajar tentang hak-hak asasi manusia, belajar bagaimana memperjuangkan hak-hak asasi manusia, belajar melalui pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Strategi pembelajaran untuk demokrasi dapat dilakukan dengan cara; etos demokrasi harus berlaku ditempat pembelajaran, pembelajaran untuk demokrasi berlangsung secara terus-menerus, penafsiran demokrasi harus sesuai dengan konteks sosial budaya, ekonomis, dan evolusinya.
2.5 PROSEDUR PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL
Prosedur yang ditempuh dalam pengelolaan pembelajaran multikultural adalah melalui tahapan; kegiatan pendahuluan, kegiatan utama, analisis, abstraksi, penerapan, dan kegiatan penutup.
Kegiatan pendahuluan dalam pembelajaran multikultural adalah menciptakan suasana yang kondusif sehingga setiap peserta didik dapat belajar dalam harmoni dan kebersamaan.
Kegiatan utama merupakan kegiatan instruksional yang menekankan pada penciptaan pembelajaran yang harmoni untuk membentuk kepribadian peserta didik yang penuh toleransi didasarkan pada keanekaragaman budaya.
Kegiatan analisis dalam tahapan pembelajaran multikultural adalah memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berbagi pemikiran dan pemahaman pribadi tentang sesuatu yang sudah dipelajarinya.
Abstraksi dalam pembelajaran multikultural merupakan upaya pendidik untuk memperjelas materi inti yang harus dipahami oleh peserta didik.
Penerapan dalam pembelajaran multikultural adalah untuk mengukur perubahan yang terjadi pada peserta didik setelah mengikuti pembelajaran.
Kegiatan penutup adalah kegiatan akhir dari prosedur pembelajaran multikultural yang dapat dilakukan sekaligus dengan kegiatan penilaian.



BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Paradigma pendidikan yang berwawasan mutikultural sebenarnya berangkat dari suatu kesadaran, bahwa setiap manusia mempunyai potensi yang berbeda-beda(heterogen). Tujuan utama pendidikan berwawasan multikultural adalah:
1. Untuk menerapkan keadilan
2. Untuk menerapkan demokrasi
3. Untuk menerapkan humanisasi
Dalam pembelajaran tidak terlepas dari unsur kebudayaan, karena;
1. kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks;
2. kebudayaan merupakan prestasi manusia yang material;
3. kebudayaan dapat berbentuk fisik;
4. kebudayaan dapat berbentuk perilaku;
5. kebudayaan merupakan realitas yang objektif;
6. kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang terasing.
Komponen-komponen yang berhubungan dengan hakikat pendidikan adalah;
1. pendidik merupakan proses berkesinambungan;
2. proses pendidikan menumbuhkembangkan eksistensi manusia;
3. proses pendidikan muwujudkan eksistensi manusia;
4. proses pendidikan berlangsung dalam masyarakat membudaya;
5. proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi waktu dan ruang.
Prosedur yang ditempuh dalam pengelolaan pembelajaran multikultural adalah melalui tahapan; kegiatan pendahuluan, kegiatan utama, analisis, abstraksi, penerapan, dan kegiatan penutup.

Rabu, 01 Juni 2011

Mengelola Kelas Dengan Efektif

Mengelola Kelas Dengan Efektif
Guru yang telah memiliki jam mengajar cukup lama tidak banyak mengalami kesulitan dalam mengelola kelas waktu berlangsungnya proses pembelajaran. Berbeda dengan guru baru yang belum memiliki jam mengajar yang banyak. Kebanyakan diantara mereka masih mencari bentuk atau pola dengan mencontoh gurunya yang mereka sukai pada waktu mengajar. Tidak terlintas dibenaknya bahwa yang dihadapi ini bukan dirinya pada waktu dahulu. Akibatnya proses interaksi belajar mengajar yang dikembangkan terkesan foto copy dari cara gurunya mengajar pada masa lalu.
Pola berfikir demikian ini banyak terjadi, terutama guru yang memiliki pengetahuan dedaktik-metodik pengajaran yang minim. Pada lembaga-lembaga kursus peluang terjadi serupa ini sangat besar, karena para instrukturnya kebanyakan tidak memiliki latar belakang pendidikan atau pengalaman pengelolaan kelas sesuai dengan asas dedaktik. Akhirnya proses interaksi belajar-mengajar yang dikembangkan penuh sesak dengan transfer pengetahuan, minim transfer keperibadian. Akibat lanjut kelas menjadi tempat penuangan bejana, bukan tempat berinteraksi.
Jika hal tersebut dilihat dari konsep bisnis, tidak menimbulkan persoalan, karena kelas dipandang sebagai medan pertemuan antara yang sama-sama membutuhkan. Siswa membutuhkan penguasaan ilmu sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sedangkan instruktur membutuhkan imbalan materi sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Persoalan akan menjadi berbeda jika dilihat dari hakekat pembelajaran. Apabila tujuan kelembagaan yang kita bangun bertujuan untuk pengajaran, maka pengelolaan kelas secara substansial dengan aspek bisnis benar adanya; namun jika tujuan kelembagaan yang kita bangun bertujuan untuk pendidikan, maka tidak begitu tepat. Filosofi ini juga yang akan mendasari bagaimana manajemen pengelolaan kelas dibentuk atau dikembangkan.
Namun demikian ada sejumlah rambu-rambu umum yang dapat dijadikan acuan baik pada konsep pengajaran maupun pendidikan:

1. Kelas dikelola dengan pola ”semua keperluan”.
Maksudnya bahwa kelas di seting sedemikian rupa untuk dapat melayani semua kepeluan dari para pengguna kelas. Model kelas serupa ini banyak dijumpai pada tempat pendidikan negara-negara berkembang. Kelas seolah ”ruang swalayan”atau one stop service, semua keperluan untuk guru dan murid ada di sana. Kelas seperti ini jika diperuntukkan kelas lembaga kursus memang menjadi idaman bagi para muridnya, karena merasa dimanjakan untuk mendapatkan pelayanan. Bahkan konsep pelayanan prima sering disalahartikan bahwa kelas serupa inilah yang ideal. Jika konsep ruang kelas sebagai proses pendidikan, maka tidak semua kepentingan guru dan murid harus ada di sana. India salah satu negara yang menganut paham ruang kelas adalah ruang penyelenggaraan pendidikan mandiri. Oleh sebab itu keperluan-keperluan pribadi murid tidak selamanya ada dan tersedia di kelas.
2. Pencahayaan dan Kebisingan
Kedua hal di atas pada akhir-akhir ini sering diabaikan oleh pengelola sekolah dalam menata kelas sebagai tempat belajar. Banyak tempat-tempat pendidikan pencahayaan ruang tidak menjadi prioritas. Di samping aspek cahaya juga aspek sirkulasi udara. Akibatnya para siswa yang belajar cepat merasa lelah karena pengaruh dari pendengaran dan penglihatan.
Hambatan-hambatan fisik serupa ini banyak sekali terjadi di kota-kota besar, akibatnya kita sering melihat pelajar begitu selesai jam belajar, tampak di raut wajahnya tanda-tanda kelelahan yang begitu penat. Hal ini di samping beban pelajaran yang diperoleh, juga karena faktor sanitasi lingkungan kelas yang tidak mendukung. Akibatnya semua itu menumpuk pada diri siswa sebagai peserta didik. Akibat lanjut dapat dibayangkan bagaimana lelahnya para siswa, dan ini tampak pada raut wajah mereka masing-masing pada saat selesai proses pembelajaran.
Kelelahan ini semakin menjadi-jadi jika beban pembelajaran tidak sebanding dengan kemampuan tubuh menerima tekanan akibat dari ketidak sehatan lingkungan.
Kondisi lingkungan yang ideal memang sulit diperoleh di daerah kota-kota besar, akan tetapi paling tidak ada upaya teknologi yang dapat dilakukan agar dampak dari lingkungan dalam arti fisik dapat dikurangi resikonya. Sebagai contoh untuk mengurangi tingkat kebisingan suara pada kelas tertentu dapat digunakan dinding peredam, atau gerahnya suatu ruang dapat ditanggulangi dengan pemasangan AC, dlsbnya. Tampaknya aspek teknologi menjadi hal yang penting sebagai jalan keluar untuk menghadapi tantangan alam.
3. Tata letak pengaturan kursi
Jarak antara kursi satu dengan kursi untuk siswa tidak ada aturan baku, hanya pada konsep psikologi sosial disinggung bahwa setiap manusia memiliki teritori atau wilayah pribadi. Beberapa penelitian yang dilakukan Morgan (1970) ditemukan bahwa orang merasa aman jika wilayah sekitarnya memiliki jarak lingkar sekitar 0,5 s/d 1,00 m. Sedangkan jika lebih dari itu mereka akan merasa tersingkirkan dari lingkungan.
Berdasarkan itu kita harus berhati-hati dalam menyusun kursi. Kita harus mengetahui susunan kursi itu untuk keperluan apa. Jika untuk kepentingan belajar, maka wilayah privacy harus diciptakan, sebab banyak diantara siswa merasa tidak nyaman karena tidak memiliki wilayah privacy. Sebaliknya jika itu untuk diskusi, maka jarak antar kursi harus sedikit rapat guna memudahkan mereka membangun wilayah bersama.
Oleh sebab itu tempat belajar ideal bagi siswa ialah apabila tempat duduk mereka dapat dengan mudah dipindahkan sesuai kebutuhan. Cara ini memang sudah banyak dilakukan di tempat-tempat belajar, akan tetapi untuk kelas permanen seperti sekolah sangat berbeda dibandingkan dengan tempat kursus. Tempat kursus lebih leluasa dalam mengatur tempat duduk, karena itu kita harus memahami jika tempat kursus akan mendapat perhatian dari pelanggan, penyusunan kursi merupakan skala prioritas yang harus tetap diperhatikan dan mampu menarik minat pelanggan.
4.Dinding dan Papan Tulis
Dinding dimaksud dalam hal ini adalah warna dinding ruang belajar atau kelas. Banyak penelitian menyatakan bahwa warna ini mempengaruhi kondisi psikologis dari orang yang berada di ruangan tersebut. Untuk kelas belajar sangat disarankan warna yang dipilih adalah lembut, bukan cerah atau gelap.
Sedangkan papab tulis yang digunakan harus kontras karena akan mempengaruhi hasil tulisan. Adapun beberapa jenis papan ajuran yang seyogyanya ada pada lembaga pendidikan adalah:
1.Papan tulis
2.Papan putih
3.Papan magnetik
4.Papan Flip
5.Papan Pameran
6.Papan Flanel
7.Papan Gulung
8.Papan Slip
9.Papan Elektronik
Papan di atas dapat diadakan sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran didalam kelas. Namun perlu diingat keberadaan papan tersebut haruslah sesuai dengan fungsi. Amat tidak bijak apabila kita membentang semua papan itu di dalam ruang kelas, karena di samping mempersempit ruang juga mengganggu pemandangan.
5.Lantai ruang
Lantai ruang dimaksud adalah lantai ruang belajar yang digunakan untuk proses pembelajaran. Ada sebagaian pendapat ruang belajar harus ditutup karpet, ada sebagian yang berpendapat tidak harus. Pendapat ini tidak perlu dipertentangkan karena kedua hal ini tidak berkait langsung dengan proses belajar. Hanya yang dipentingkan adalah kenyamanan yang tercipta karena warna lantai. Beberapa penelitian menemukan bahwa warna lantai akan lebih banyak mempengaruhi pandangan jika kursi yang dipakai adalah model kursi kuliah. Sedangkan jika tempat duduk dilengkapi meja, hal tersebut tidak terlalu berpengaruh pada pandangan mata. Informasi lain menunjukkan bahwa warna dasar lantai cerah lebih berpeluang meimbulkan rasa segar pada pandangan dibandingkan dengan warna gelap. Untuk ini alangkah bijaksananya jika kita ingin membangun ruang belajar berkonsultasi terlebih dahulu pada ahlinya.
Jadi, dapat dikatakan bahwa tempat bekerja, areal kerja, suasana kelas sangat tergantung pada ukuran dan bentuk, serta bagaimana bagian-bagian ruang itu digunakan; termasuk didalamnya:
1. Pengaturan meja guru, lemari penyimpan dokumen, proyektor OHP dll
Maksudnya ialah ketiga sarana tadi harus dalam posisi yang berdekatan agar mudah dijangkau oleh guru dalam mengembangkan interaksi pembelajaran bersama siswa. Tidak ada yang baku untuk meletakkan benda-benda ini. Apakah harus di posisi depan, samping atau belakang kelas.
2. Lemari Buku
Maksudnya ialah bahwa diruang belajar sebaiknya tersedia lemari buku, Lamari ini berfungsi baik untuk siswa atau untuk guru. Tata letak tidak ada ketentuan yang baku, hanya aspek estetika dan kepraktisan perlu diperhatikan. Namun demikian untuk menjaga suasana kelas agar tetap asri hingga menimbulkan suasana belajar yang kondusif, peletakan lemari buku juga perlu diperhatikan.
Perlengkapan yang dapat dimasukkan ke dalam lemari buku ini adalah di samping buku ajar, juga alat-alat pendukung pembelajaran lainnya (OHP, LCD dll). Termasuk hasil tugas siswa yang belum diambil, sehingga tidak ada alasan proses pembelajaran tidak berjalan karena tidak ada peralatan.
Setelah kita memahami kelas sebagai sarana atau tempat proses belajar, persoalan lebih lanjut ialah bagaimana mengelola kelas itu agar didalamnya terjadi proses pembelajaran. Untuk itu kita dapat mengenal beberapa model dalam pengelolaannya:
a.Model Interaksi Sosial
Model ini menekankan pada hubungan antarpeserta didik, peserta didik dengan guru/fasilitator, antara peserta didik dengan alam sekitar. Metode belajar yang paling utama dalam pendekatan ini antara lain diskusi, problem solving, metode simulasi, bekerja kelompok, dan metode lain yang berhubungan dengan berkembangnya hubungan sosial siswa.
b.Model Pembelajaran Alam Sekitar
Model ini menekankan pada bahwa peserta didik dalam mempelajari sesuatu harus melihat langsung, atau merasakan langsung apa yang dipelajari. Minimal bahan yang menjadi topik pengajaran harus yang dirasakan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
c.Model Pembelajaran Pusat Perhatian
Model ini berprinsip bahwa peseerta didik harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam msyarakat, anak harus diarahkan kepada pembentukan individu dan anggota masyarakat. Oleh sebab itu peserta didik harus mengenal dirinya sendiri seperti hasrat dan cita-citanya, kemudian pengetahuan tentang dunianya seperti lingkungannya dan tempat hidup di hari depannya.
d.Model Pembelajaran Sekolah Kerja
Model ini berprinsip bahwa pendidikan itu tidak hanya untuk kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan masyarakat; dengan kata lain sekolah memiliki kewajiban (1) mempersiapkan tiap peserta didik untuk berkerja pada lapangan tertentu (2) tiap peserta didik wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara (3) untuk mewujudkan kedua hal tadi peserta didik wajib menjaga keselamatan negara.
e. Model Pembelajaran Individual
Model pembelajaran ini didisain untk pembelajaran mandiri. Bentuk bentuk pembelajaran ini antara lain pola pembelajaran modul. Penekanan pada model pembelajaran individual adalah pada komitmen antara guru dan peserta didik.
f.Model Pembelajaran Klasikal
Model pembelajaran klasikal dikenal model yang paling efisien. Pembelajaran secara klasikal ini memberikan arti bahwa seorang guru melakukan dua kegiatan sekaligus, yaitu: mengelola kelas dan mengelola pembelajaran.
Pada prinsipnya semua model di atas adalah merupakan arahan kepada penyelenggara pendidikan bahwa lembaganya dalam melaksanakan program pendidikannya mengambil model yang mana. Akan tetapi dalam kenyataan praktiknya ternyata model pengembangan di dalam kelas tetap berorientasi pada bagan sebagai berikut:
1. PERUMUSAN TUJUAN
2. KEGIATAN PEMBELA-
Menyusun tujuan instruksional JARAN
Khusus yang operasional, teru menetapkan sumber bela-
tama perubahan perilaku yang jar dan metode pendekat-
diharapkan. an yang dipakai
5. EVALUASI BELAJAR
3. PENGEMBANGAN KE-
Menyusun test standar GIATAN PEMBELAJAR-
yang akan digunakan dan AN
cara pengolahannya Merumuskan bahan dan
materi pelajaran, mene-
tapkan alat kelengkapan
dan media yang akan
dipakai.
4. PELAKSANAAN
a. melakukan pre test
b. menyampaikan bahan
dan materi pelajaran
c. melakukan post test
d. mengadakan perbaikan
pembelajaran
C. PENGGUNAAN BERBAGAI METODE DALAM PROSES BELAJAR-
MENGAJAR.
Pada prakteknya seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya di dalam kelas tidak lepas dari upaya menguasai kelas dan menyampaikan bahan pembelajaran kepada peserta didik. Dalam kegiatan penyampaian tadi pada umumnya menggunakan cara atau metoda tertentu. Walaupun dalam pelaksanaannya tidak terpaku pada satu metode saja, dapat saja dilakukan secara elektif yaitu menggunakan berbagai metoda. Namun pada umumnya metoda yang dipakai itu adalah sbb:
1. Metoda Ceramah
Metoda ini adalah cara klasik yang menempatkan guru sebagai sumber informasi utama dalam proses pmbelajaran. Keunggulan metoda ini ialah mampu memberikan informasi sekaligus pada peserta didik dalam jumlah banyak. Namun kelemahannya metoda ini cukup banyak, diantaranya adalah penguasaan materi dan penguasaan kelas sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran.
2. Metode Tanya Jawab
Teknik ini tidak sama dengan teknik intograsi. Tanya jawab dimaksud adalah agar peserta didik dapat mengembangkan kreativitas berfikir, dan motivasi untuk memahami bahan pembelajaran.
3.Metode Diskusi
Teknik ini paling efektif jika topik yang didiskusikan menarik perhatian peserta didik. Jika tidak, maka diskusi, terutama diskusi kelompok, akan menjadi kering dann tidak menghasilkan apa-apa.
4.Metode Demonstrasi
Teknik ini paling efektif jika apa yang akan didemonstrasikan menarik minat peserta didik karena merasa kebutuhannya terpenuhi. Jika kondisi itu tidak terjadi, maka tidak akan muncul kondisi interaktif yang menimbulkan proses pembelajaran.
5.Metoda Sosiodrama
Teknik ini efektif jika tujuan yang akan kita capai adalah pada tataran penghayatan. Perlu diingat penggunaan metoda ini yang menjadi obyek pelaku adalah peserta didik, sementa guru adalah sutradara dari seluruh rangkaian kegiatan ini.
6.Metoda Karyawisata
Teknik ini sangat efektif jika materi pembelajaran tidak mungkin di bawa kemuka kelas. Peserta didik akan mendapatkan pe